TIPUDAYA YANG MENIMPA KALANGAN ULAMA Kelompok Kedua

 TIPUDAYA YANG MENIMPA KALANGAN ULAMA
Kelompok Kedua

Sekelompok Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui bahwa pelanggaran tersebut dicaci oleh syariat. Hanya saja, karena mereka terlalu berbangga dan kagum pada diri sendiri, mereka menduga dirinya bebas dari cacian tersebut. Di sisi Allah, menurut mereka, telah bebas dari cobaan seperti itu. Mereka yang dicaci adalah kalangan awam, bukan pada pihak yang telah sampai pada taraf ilmu pengetahuan. Sementara mereka para Ulama merasa bebas dari sanksi tersebut, sehingga mereka terjerummus ke dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi, keluhuran dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri bahwa cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan. Mereka beralasan apa yang dilakukan sebagai upaya memuliakan agama, menampakkan kemuliaan pengetahuan dan membantu agama Allah. Mereka lupa pesta iblis karena tindakan mereka itu, mereka juga alpa bagaimana sebenarnya kontribusi Nabi SAW dan bagaimana kehinaan orang-orang kafir. Mereka juga lupa bagaimana para sahabat bertawadhu’, merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya, sehingga Umar bin Khattab r.a pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh setibanya di Syam, “Kami adalah kaum dimana Allah meninggikan kami dengan Islam. Kami tidak mencari kemuliaan selain islam.”.

Kemudian tipudaya lain, memakai pakaian kebesaran untuk kemuliaan agama, ia menduga bahwa dirinya memuliakan ilmu dan menghormati agama dengan tindakannya. Ketika mreka membahas rasa dengki teman-temannya atau mereka yang kontra terhadap ucapannya, ia tida menduga bahwa tindakannya itu merupakan kedengkian pula. Lantas ia berkeli, “Ini merupakan kemarahan demi kebenaran, mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan kezalimannya”. Tentu tindakannya merupakan tipudaya, sebab manakala ia menusuk sesama temannya melalui kritiknya, kadang-kadang ia melontarkan bukan melalui amarah tetapi dengan rasa gembira karena mampu mengkounter temannya. Kalau dihdapan manusia ia tampak marak tetapi dalam hatinya gembira. Terkadang lontarannya sebagai pamer pengetahuan, sembari berucap “Tujuan saya sebenarnya memberi kontribusi fadah kepada manusia”, padahal ucapannya itu didasari riya’. Sebab bila tujuannya untuk membuat kebajikan kepada manusia, tentu ia pasti lebih senang bila tindakannya itu dilakukan oleh orang lain yangs epadan atau diatasnya, bahkan orang yang ada di bawahnya.

Kadang-kadang ketika mamsuki rumah para penguasa, ia memuji-muji dan menampakkan kecintaannya. Ketika ditanya soal tindakannya itu ia menjawab “Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan bersama umat Islam dan menolak bahaya dari penguasa itu”. Padahal ia terkena tipudayanya sendiri. Tentunya bila memang demikian tujuannya, pasti ia akan senang bila yang melakukan itu adalah orang lain. Seandainya ada seseorang yang berkenan dan sukses perannya di hadapan penguasa, ia justru emosi pada tindakan orang lain itu..

Ketika ia bisa meraih harta dari penguasa, lantas muncul dibenaknya bahwa harta itu haram, tiba-tiba setan berbisik “Ini harta tanpa pemilik, bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat Islam. Andakan pemuka umat dan pakar mereka, karena andalah agama ini bisa tegak”.
Disini ada tiga tipudaya; pertama, bahwa ada harta tanpa pemiliknya. Kedua, demi kemaslahatan umat Islam. Ketiga, ia adalah pemuka umat. Lantas adakah seorang pemuka atau Imam yang menolak duniawi seperti para Nabi, para sahabat, dan Ulama-Ulama umat yang utama? Dan sepadan mereka, sebagaimana Isa a.s berkata, “Seorang alim yang buruk ibarat batu dipinggir jurang, tidak mencerap air tidak pula memancarkan air yang dialirkan kepertanian”.

Kalangan pakar ilmu pengetahuan ataupun ulama banyak yang terpedaya dan tindakan destruksinya lebih banyak dibanding reformasi kebijakannya.


Di Kutib Dari : 
Imam Ghazali
Kaidah-Kaidah Sufi