Tipudaya Pelaku Maksiat

Tipudaya Pelaku Maksiat

Tipudaya yang melanda kaum beriman yang melakukan maksiat adalah melalui ucapan mereka “Allah-kan Maha Pengampun dan Penyayang, kita sangat berharap ampunan-Nya”. Dengan jargon demikian mereka malas dan mengabaikan amal-amal ibadat dengan bersembunyi dibalik harapan rahmat, padahal mengharap rahmat memang tindakan terpuji. Mereka dengan mudah mengatakan bahwa rahmat Allah itu luas, nikmat-Nya universal, kemurahan-Nya merata, dan kita-kita adalah bertauhid dan beriman, dan kita berharap melalui iman, kemurahan dan kebajikan.

Terkadang sumber permulaan perilaku mereka adalah merasa bangga dengan nenek moyang mereka. Dan sikap demikian merupakan tipudaya yang sudah sangat jauh. Sementara para generasi nenek moyangnya sangat menjaga kebajikan dan wira’i mereka. Lantas mereka membangun analogi yang dilimpahi nilai-nilai setan: “Siapa yang mencintai manusia, pasti mencintai anak cucunya. Bila Allah telah mencintai bapak, ibu dan nenek moyangmu, berarti Allah pun mencintaimu, kalian tidak perlu lagi taat beribadat. Mereka akhirnya berpegang dengan ucapan setan tersebut dan menipudayai Allah. Mereka tidak tahu bahwa Nuh as. ingin mengangkut puteranya ke dalam bahtera, sang anak tidak mau mengikuti ajakan ayahnya. Lantas Allah meneggelamkan anak itu lebih dahsyat lagi dibanding tenggelamnya kaum Nuh as. Sementara ketika Nabi SAW memohon izin agar bisa berziarah emkam ibundanya dan memintakan ampunan atas diri ibunya itu, maka Nabi SAW diberi izin berziarah, namun tidak diizinkan oleh Allah untuk memintakan ampunan.
Mereka lupa dengan firman Allah SWT:

﴿ولا تزروا وزرة وزر أخرى﴾ [فاطر:18]
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul diosa orang lain”. (Q.S. Fatir: 18)

﴿وأن ليس للإسان إلا ما سعى﴾ [النجم:39]
“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (Q.S. An-Najm: 39)

Apabila yang menyangka bahwa ia bisa selamat karena ketaqwaan orang tuanya, berarti sama dengan orang yang menduga bahwa ia bisa kenyang karena orang tuanya yang makan, atau merasa segar ketika bapaknya minum. Taqwa adalah fardhu ‘ain, dimana seorang anak tidak bisa mendapatkan pahala karena orang tuanya. Balasan taqwa seseorang akan terpisah dari saudaranya, ibunya dan bapaknya, sahabat-sahabat dan anak-anaknya, kecuali melalui jalan syafaat. Mereka alpa terhadap sabda Rasul SAW:
﴿الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت والعاجز من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله الأماني﴾
“Orang yang pandai adalah orang yang mau introspeksi dirinya dan beramal untuk tujuan sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti selera nafsu sambil berharap-harap kepada Allah”.

Firman Allah SWT:
﴿إن الذين أمنوا والذين هاجروا وجاهدوا في سبيل الله أولئك يرجون رحت الله والله غفور رحيم﴾ [البقرة:218]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah serta orang-orang yang berjuang dijalan Allah, merekalah orang-orang yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampu lagi Pemurah”. (Q.S. Al-Baqarah: 218)

﴿جزاء بما كانوا يعملون﴾ [السجدة: 17]
“Sebagai balasan apa yang mereka perbuat”. (Q.S. As-Sajdah: 17)

Bolehkah berharap tanpa didahului oleh amal? Kalau tidak memiliki bekal amal, berarti harapannya merupakan tipudaya. Harapan itu dihasirkan sebagai penyejuk bagi rasa takut dan keputusasaan. Faedah tersebut memang telah diucapkan oleh Al-Qur’an, dan adanya motivasi untuk terus mengembangkan harapan lebih banyak.


Di Kutib Dari : 
Imam Ghazali
Kaidah-Kaidah Sufi
Keluar Dari Kemelut Tipu Daya