TIPUDAYA YANG MENIMPA KALANGAN ULAMA Kelompok Kesembilan

TIPUDAYA YANG MENIMPA KALANGAN ULAMA
 Kelompok Kesembilan

Mereka menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang hadits, yakni dalam penyimakan hadits dan seluruh riwayatnya yang banyak. Mreka mencari-cari sanad yang asing yang tinggi. Hasrat mereka agar bisa berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh, untuk selanjutnya ia bisa mengatakan “Saya meriwayatkan dari Fulan dan saya bertemu fulan, saya memiliki sanad-sanad yang tidak dimiliki orang lain”.
Tipudaya yang melanda mereka ini dari berbagai segi, antara lain mereka seperti pembawa buku. Mereka tidak berkosentrasi untuk memahami sunnah dan merenungkan artinya, namun terbatas pada penukilan. Mereka menduga tindakannya itu sudah cukup. 

Sungguh jauh, bahkan tujuan mempelajari hadits dari segi makna dan pemahamannya sirna begitu saja. Pertama-tama mempelajari hadits itu adalah mendengarkan, kemudian menghafal, lantas memahami, selanjutnya mengamalkan baru menyebarkan. Mereka hanya membatasi diri mendengarkan kemudian tidak bisa membuat keputusan hukum dari ilmu itu. Manakala tidak ada gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu, sementara hadits pada zaman ini bisa dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa. Sementara syeikh yang membacakan haditspun kadang-kadang lupa, sampai haditsnya bertumpuk namun tidak mengerti. Si murid bisa jadi tertidur ketika syeikh meriwayatkan hadits, dan sang syeikh tidak tahu ketika murid itu tertidur.

Semua itu merupakan tipudaya. Prinsip dalam penyimakan hadits adalah mendengarkannya dari Rasulullah lantas menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana adanya. Riwayat itu lahir dari hafalan dan hafalan lahir dari penyimakan. Bila penyimakannya lemah dari Rasulullah ia bisa mendengarkan atau menyimak dari sahabat atau tabi’in. Sehingga simaknya dari mereka seperti penyimakannya dari Rasulullah. Ia harus memperhatikan dan menghafal sebagaimana para sahabat dan atbi’in menghafal, sehingga tak satu hurufpun yang dilalaikan. Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau mengajarkannya. Dan ia harus menyalahkan bilamana ada kesalahan.

Penghafalan hadits bisa melalui duametode. Pertama, melaluui hati dengan cara kontinu dan mengingat-ingat. Kedua, melalui penulisan apa yang di dengar dan pentashihan apa yang ditulis dan kemudian menghafalnya agar tidak ada tangan yang merubahnya. Dalam hal ini hafalannya tertumpu pada kitab atau buku hadits. Seharusnyabuku-buku tersebut tersimpan rapi dalam perpustakaan dan terjaga agar tidak dirubah orang lain. Ia tidak boleh menulis penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang yang lupa dan orang yang tidur. 

Seandainya itu boleh berarti penyimakan ank-anak boleh ditulis ketika dalam ayunan.
Dalam penyimakan hadits memang ada syarat-syarat yang cukup banyak. Tujuan mempelajari hadits adalah mengamalkan dan mengetahuinya. Hadits memiliki pemahaman yang banyak sebagaimana al-Qur’an. Riwayat dari Abu Sufyan bin Abul Khair Al-munhy, bahwa dirinya hadir dalam majelis Zahir bin Ahmad As-Syarkhasy. Hadits pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi SAW:
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Diantara kebajikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak berguna”.

Lantas ia berdiri dan berkata, “Ini sudah cukup baginku hingga aku menuntaskan kemudian barulah aku menyimak yang lain”. Demikian ityu merupakan penyimakan yang sebenarnya.




Di Kutib Dari : 
Imam Ghazali
Kaidah-Kaidah Sufi
Keluar Dari Kemelut Tipu Daya